Setelah sebelumnya mengenai Tidur saat Mengajar. Selanjutnya, kali ini kita akan belajar Menganggap Diri Paling Pandai
Suasana belajar-mengajar terasa kaku. Murid tidak banyak memberikan komnter atau tanggapan, mengungkapkan ide, pemikiran, ataupun kritikan terhadap sang guru. Hal ini terjadi ketika setiap kali murid mengungkapkan ide dan pemikiran yang berbeda selalu disalahkan oleh sang guru. Tidak pernah sekali pun sang guru mengapresiasi pemikiran muridnya. Segala sesuatu yang disampaikan oleh sang guru merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat. Sang guru selalu merasa paling benar atau tidak pernah merasa salah sedikit pun dalam aktivitas belajar-mengajar.
Itulah gambaran seorang guru yang merasa paling pintar dalam kegiatan belajar-mangajar. Murid tidak boleh membantah, serta harus patuh dan tunduk dengan sesuatu yang disampaikan oleh sang guru. Jika membantah, murid dianggap tidak mengerti dengan sesuatu yang disampaikan sang guru. Dan, lebih menyedihkan lagi, murid akan dianggap bodoh jika tidak menerima pemikiran sang guru. Murid benar-benar berada di bawah kendali sang guru sehingga murid tidak lebih dari sebuah robot yang kontrolnya berada di tangan sang guru.
Guru yang meras paling panda menurut E. Mulyasa, berawal dari sebuah kondis adanya perbedaan usia antara guru dan murid. Usia guru relatif lebih tua daripada muridnya. Sehingga, guru merasa memiliki pengetahuan dan pengalaman yang melebihi muridnya. Dari situlah, lahir pemikiran untuk mendominasi murid. Murid dianggap "gelas kosong yang perlu diisi air"? Dan, satu-satunya yang dapat mengisi gelas kososng itu, menurut guru yang mersa paling pandai, adalah guru itu sendiri.
Murid yang seharusnya : berada di bawah kendali guru, menurut Sartre (dalam buku penulis Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resti Book, 2004), menggunakan konsep pendidikan yang memaksa seseorang untuk makan karena dianggap lapar. Bahkan, ia tak hanya memaksa, melainkan juga mengunyahkan, kemudian memaksa menelan sesuatu yang sudah dikunya agar kenyang. Guru yang mersa paling pandai "menyuapkan" pengetahuan secara paksa kepada murid dengan anggapan agar murid "kenyang" dangan pengetahuaan. Padahal,ketika pengetahuan dipaksakan untuk "Dimakan" maka akan memunculkan dua akibat negatif.
Pertama, jika murid tidak suka atau menganggap "makanan" pengetahuan itu tidak pantas "dimakan", ia akan memuntahkannya. Hasilnya, tentu saja tetap tidak "mengenyangkan" atau murid tetap "lapar".
Kedua, bila murid terpaksa "memakannya" maka, akan menjadi penyakit yang membuat dirinya jadi tidak percaya diri, suka meniru, dan ,menggantungkan dirinya pada orang lain. Independensi dalam berpikir menjadi "modal".Dan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia pun menjadi gagal.
Guru yang merasa paling pandai telah membatasi dirinnya untuk belajar kepada siapa pun, termasuk muridnya. Padahal, guru yang bersedia belajar kepada muridnya tidak akan mengurangi kehormatannya. bahkan, guru yang demikian secara tidak langsung telah meberi dukungan kepada murid untuk terus rajin belajar dan mengembangkan pengetahuan cemerlang yang dimilikinya.
Sebaliknya, guru yang tetap merasa paling pandai di tengah terbukanya peluang untuk belajar di mana pn dan kapan pun, secara tidak langsugn telah menghilangkan citra dan kewibawaan nya sendiri kerana mepertahankan kesombongan dan kekolotannya.
Guru yang benar-benar padnai (bukan merasa paling pandai) dapat memanfaatkan situasi zaman yang terus berkembang. Ia tidak pernah berhenti untuk terus belajar kepada siapa pun. Karena guru terus belajar sepanjang hayat, ia tidak akan pernah merasa palaing pandaia. Dirinya tidak perlu membuktikan kepada muridnya bahwa dirinya paling pandai. Apalagi, untuk membuktikan itu, ia menggunakan moteode tekanan, ancaman, dan hukuman.
Dari guru yang demikian, akan lahri murid yang mampu bersaing di tengah masyarakat. Sebab, ide, pemikiran, dan kreativitas tidak "disumbat" oleh keangkuhan sang guru. Oleh karena itu, semsetinya guru berpikir demokratis dalam kegiatan belajr-mengajar.
Simpulan
Menjadi guru harus selalu tetap belajar mengikuti perkembangan zaman menghindari rasa ego dan sombong dengan ilmu yang sudah dimiliki atau ilmu yang sudah diberikan kepada murid sehingga menjadi guru adalah tetap belajar dengan siapapun kapan pun dan dimanapun sampai akhir hayat.
Nantikan artikel berikutnya tentang Mengajar secara Monoton
Sumber : Rahman, Mansyur Arif. 2011. Kesalahan-Kesalahan Fatal Paling
Sering Dilakukan Guru Dalam Kegiatan Belajar-Mengajar. DIVA Press
0 komentar:
Post a Comment